Puisi Erwin Syah
Padam
wajahmu langsat
di tembok-tembok pucat
malam pekat mnafsir alamat
bahwa ada hujan
dan bukan rembulan
Sepenggal
batas
batu karang terapung tenggelam
akar menahan butir air
yang akan menemui telaga jauh
akar tak bertemu batu
pohon tak bertemu daun
serti bahasa tua yang tak pernah terucap
ribuan tahun
Telapak
malam
Kubuka daun gerbang
pergi meninggalkan kos
warung-warung lelah
menjajakan niaga di sepanjang trotoar
siang tadi jalan aspal dijilat surya
raung mesin nampak lelah
malam sepanjang jalan
kulewati guyur sinar lampu
sesekali tiba senyummu dalam ingatanku
armenia aku harus pulang esok pagi
akan kutulis sajak untukmu
Sebentuk
pasir
embun-embun menambah kabut
menyulam sisa hari kemarin
di atas pembaringan
jam dinding mengeriput
di sela jantan ayam berkokok
dedaunan mengabarkan pagi
Kujala
hujan di musim kenangan
Pada Ratna
Angin berhembus, dedaunan kuyup embun
Pada Langit bulan dan bintang bercahaya
Kupergi ke anak sungai yang rak beribu
Lalu mebasug tubuh dan berwudhu
Sinar ombak yang kubawa mengejar bayangmu
Lalu kau tersenyum pada sepertiga malam
itu
Embun bergegas ke bibir daun dan
ranting
Bunga-bunga bermekaran di tepian sungai
Tapi engkau tahu aku rak lagi memetik bunga
untukmu
karena salesma
Aku tak mampu mencium kelopak bunga
Yang berpisah dari kuantum
Kamu berkata, lihatlah kelopak daun, dan tangkai bunga
itu
Dapat
kurasakan aromanya
Seperti seribu aroma malam yang pernah kita lewati
Lalu aku diam menjala hujan di musim kenangan
Barisan
Rumput
Mengapa tak lagi kau bertani ke bumi
Menanam ilalang dan rumput bambu
Hingga dapat kuterka berapa jumlah
Barisan hijau rumput
Dan separuh langit yang kau miliki
Sajak
anggur basi
Tebak saja sejumlah anggur dalam botol
Ada yang bergetah dan ada yang basi
seperti susu
Terka saja berapa kata yang melingkari saraf
Dan hati seperti belantara semakanya
berduri-duri
Menjahit
setiamu
Sore menjelang, kau menjahit baju penghangat tubuhku
angin merebah
ada pohon condong di samping serambi
rumah
di tepiannya kau gantung bunga
sepatu
yang tak henti mekar dan layu
Di samping serambi itu kau pun pernah berkata
Bunga sepatu itu
seperti cinta yang tak sampai senja
Juga guguran daun yang mengotori rumah
kita
Di atas kursi itu kau masih menjahit
Benang yang mengikuti jarum di jemarimu
Hampir putus untuk kau sulam
Lama waktu bagiku kau masih saja setia
Dan benang pun selesai kau rajut
akhirnya baju penghangat tubuhku sekesau
kaujahit
Sempurna bentuk tubuhku yang beranjak tua
Senja akan berubah rerumputan kering dalam
doa
Antara
pohon asam aku menunggu
sepanjang jalan aspal daun asam
berguguran
di sekitar masjid aku menunggu
entah untuk berapa lama
burung gereja meninggalkan ranting
terakhir
aku menunggumu lagi
curiga dan rindu terakhir
Pada sembilan tahun yang lalu
Layang
Sore
awan layu
daun berguguran diatas telaga
tak terdengar kecipak air
tapi ada tanda hujan
dan istarat pertama langit akan malam
kita bercumbu di tepian telaga itu
tapi tak semua baju kita tanggalkan
karena siapa yang lebih jalang dan siapa yang lebih
jantan
dan perpacu di atas tanah yang hitam batu
sore mendung
burung layang hinggap ke ujung dahan
dan angin yang berbisik melebihi rindu
senja melambat ke barat
Melaju
saat aku membaca surat darimu
aku menghapal jalan di kota
bila membaca surat darimu
dan aku tak membalasnya
karena bagiku kau bayang-bayang
lalu hari menambah teriknya
dan engkau pun tiada
Sep
05
sebab kemarau tak kunjung basah
senja membujuk malam
pagar bambu rapuh di halaman ketika itu
pelepah nyiur jatuh
pada sore resah
pelepah nyiur tua
menyimpan kematian yang teguh
Cinta
Kita bertemu
Dan tak sempat mengatakan kita akan berpisah
Pertemuan itu kini menjadi kenangan
Yang kau takdirkan
Bahkan tanpa kematian
Karena kita akan pernah menemukan cinta dan
kematian
Karena setelah kau tau cinta adalah siksa
Yang bertahun dan tak dapat kau tunggu
Ah, cinta, berapa kali aku dijadikannya
Batu diam dan sedikit keras kepala ucapmu
Menjeratku dalam tanda tanya
Yang tak perku kujawab
Pagi itu saat ia telah pergi
Aku mengerti
Kematian dan cinta hanya akan datang
Dan takkan pernah pergi
Kursi
bambu
Widhi
A
Irama jam terkikis habis
Untuk kuucapkan padamu
Di kursi bambu malam yang ragu
Antara kasih, sobat, atau apa
yang kau berikan padaku
lalu aku melangkah meninggalkanmu
menyusuri gelap sudut cahaya
dan jalan malam itu
detak jatungku masih
mengisyaratkan kehidupan
Seperti aroma senyummu
dari kursi bambu malam itu
Segalanya telah terkubur
Rasa
Sungai mengalir
Di sela bebatuan
angin memburu pohon
Ranting menggugurakan daun
Aku menghampirimu
Kau menyapa
Lalu kau basuh kedua tanganmu
Di atas batu dan aliran sungai itu
tak tersipu
seperti pertama kali kita bertemu
Lembar
Surat
Saat kunikmati asap rokok
Senja belum memucat
Kelelawar berlomba kembali ke timur
awan berlahan kelabu
Bintang belum nampak ketika
langit tak berombak
di pojok kamar kawanan semut berarak
Telusuri buku di aras rak
Di atas meja yang tak bertapak
Kukemas foto orang-orang lapar yang kutemukan dalam
koran
cekung matanya nampak lalat berkaca
Tak lupa kutata lembaran foto kekasih dan selembar
suratnya
Sekilas nampak seperti lembaran kisah para pemimpin tempo
dulu
Dan hampir tak sempat kuabadikan
Sembari kumainkan asap rokok
Kubakar lembar foto dan surat
Yang penuh cacian, rayuan dangkal
Cinta, dan revolusi
Di
Ambang Masjid
Mataku tak mungkin berkhianat
Selepas aku memandangmu
Kau dalam bak sungai melewati muara
Atau seperti sebatang pohon dan aku di tepian
sungai itu
Engkau pun tak nampak seperti wanita yang berbusana jerami
Berulang kali kau berlalu di hadapanku
Berulangkali pula kau tak singgah
Ke halaman masjid samping rumahku
Dan tak pula kita bertemu
R
- A - T
Dalam seonggok waktu
Makalh-makalah kuliah berserakan
Juga ayat suci yang belum selesai dieja
Luas bagi danau tak bermula
Dan malan akan hadir
Selebar pejaman mata dalam kubur
Cumbu
dulu kala
Aku akan pergi denganmu
Angin berhembus
Aku akan pergi denganmu
Membawa baju-baju kumal
engkau akan mengenakannya
Untukku
Lalu kita berpeluh oleh silau matahari
hingga kau hempaskan wajahmu
di atas dadaku
lumuri berahi miskin
Dengan nafas masih mengental
Di ranjang dan peperangan
kita menikmati senja
Berdua
di musim buah
Pada saat musim buah
Malam ditemaram cahaya lentera
Di balkon aku duduk di disampingku
DI belakang rumahnya sungai mengalir
Riaknya bersahut di balik dinding kayu
Angin nyelinap di atas pintu
Di atas meja balkon itu
Ia suguhkan buah duku
Hingga di antara satu buah
terkupas dan pilihan tangannya
Lalu ia berikan padaku
Pada malam dan temaram cahaya lentera
Kami hanya berdua
Jan
05
Daun pun berguguran
Angin membawa asap yang entah kemana
sore mendung
Lilin
dan api
Aku terjaga dan malam dan tidur yang berat
ada cericit burung kecici dan angin
Yang lama tak kurasakan lagi hembusannya
Kuulang ingatan bahwa engkau
Masih ada dalam obrolan pagi biasa
Tapi berkali-kali pula kuingat hanya ada nama
Aku terjaga dan sendiri
Seperti sederhananya lilin
yang
ingin menjumpai api
Ke
mana angin kembali?
Kubaca berulang bait sajak yang ditulis
Oleh leluhur
Sejarah yang menawan tawa getir
Tulang-tulang tak sempat terkubur
Di ujung nama jalan
Hingga tembok berdebu sempurna berdiri
Kueja perlahan lirih yang pernah ia ucapkan
Pahlawan dan merdeka
Kini mereka terpisah dari bait-bait rumput
Sisa pertempuran
Kini dedaunan berubah menjadi kaca di kota
kubaca bentang bait sajak yang ditulis leluhur
berabad lamanya bertempur
ke mana angin kembali
0 Komentar