Puisi  Ahmad Muzakki

Senja lari ke utara

Langit terlentang telanjang

di bibir telaga

tumbuh setengah karam

selembar gaun tipis dan kering

basah oleh lumpur

ketika senja ke utara

 

engkau tak pernah menyesalinya

apalagi menjelaskan maksudnya

dengan kata - kata

 

tapi, warna langit

yang ada di dalam dadamu

kelebat nafsu,

lalu berdebat dengan

gelimang rasa bimbang

kemilau gading buah khuldi hawa

 

dan bunga tujuh rupa

duduk menikmati senja

Metro, 2004

 


Wajah matahari

-aji dan reki

kulihat dunia lain tumbuh

di ladangmu

di antara sayap-sayap capung yang menyapa kening udara

dan gerumbul-gerumbul daun

yang melambaikan tangannya

 

wajahmu dipenuhi padang belukar

yang mulai liar

desis kobra

dan matahari tertusuk ilalang

menangis mengerang

dengan isyarat lantang

 

dengarlah bu, lolong serigala kecilmu itu

nampak tersengal dan lapar

meski lelahnya sama pahitnya

gugusan perdu yang bertebaran

jelmakan ratusan kepompong yang kelak menjadi kupu-kupu

lalu membawa terbang

melintasi tebing-tebing kanal yang curam


dan lilatlah, bu

di ujung gelombang, matahari pasti menunggu

timbul tenggelam di ujung gagang pancingku itu

Tulang Bawang, 2005

 

Pelabuhan pandang

mercusuar yang remang

menikmati semilir malam

di bibir dermaga

lipatan gelombang

gelepar percik air lautan

selembar pandang

tenggelam

 

Janji rembulan

bulan terpenjara

di sudut mata

dan sinarnya tak mau bicara

 

muram yang kekal

dalam cengkrama

sekutu melodi-melodi serangga

satu dalam penjara

engkau dan aku

aksara-akasara maya

Metro, 2005

 

Antara angin dan halilintar

antara angin dan halilintar

sabtu malam

alif-alif

mati

 

Di ruang tamu

kabut yang kudekap

tiba-tiba tumpah

diruang tamumu itu

 

sengaja kubiarkan secangkir teh

kedinginan menyerap hujan

yang kita tuang pagi itu

 

kita bergulat

dengan isyarat-isyarat beku

dan sepatah istighfarmu

Metro, 2004

 

Di bawah asuhan bulan

bulan mengasuh anak-anak

ayo, ayo ...

riang sudah di halaman

mungkin canda dan tawa

datang belakangan



tangan bualan berjabat

erat merapat umpat-umpat

memagari pantun

di tengah lingkaran

ayo, ayo ...

berlari telanjang dada

sahut-menyahut

tebak-tebakan nama

mencari siapa?

Metro, 2005

 

Peri pematang

sebab tak ada burung terbang

membuat sarang

atau meninggalkan batang

padi yang matang

lalu diam menyapu biji-biji mata

 

pagi itu

aku bukanlah kata ataupun isyarat

sebab matahari menyandangkan kehangatan

tanpa suara

dan kau tegak mematung

seperti gubuk manati penghuninya

 

kulihat peri kecilmu bersayap

selendang motif kembang

sayup kudenganr suara tawamu

merunduk menetak jalan setapak

Metro, 2004

 

Bersebadan di pekarangn tua

muram kekal di panggung malam

bersandar di tepi kolam

bernyanyi tanpa lirik dan melodi

bulan gembalakan tawa pada semak

tempat persinggahan hantu

mendesiskan nafsu

 

di bibir kolam itu

malam lengang

tampak cemas berdiri di pekarangn tua

saat hantu-hantu sedang bekerja

menemani pohon-pohon dusta

Metro, 2005

 

Saat bulan juni berawan

musim gerimis gemerisik dedaunan

bulan juni ditumbuhii awan

pekat berbaris rapat liar menjalar

 

tetes embun adalah isak tangis

yang tertahan malam tadi

dingin dan bekukan hati

 

di subuh yang hening

lonceng bambu gagap membawa berita

tentang gerimis yang lahir

dari wajah-wajah batu

suara-suara seperti mata angin tajam

mematahkan ranting dan dahan

 

dan berita tentang gerimis yang tumbuh di bulan juni

 

Metro, 2001

 

100 m dari gardu pos kota

lelaki malam berambut gimbal

kumal sebam menghujam

tubuh kurang wajah amarah

menjalar ke kening-kening trotoar

 

"semua seperti tong sampah

hanya tegak berdiri mengurusi amis bau terasi"

 

lelaki malam berambut pirang

remang mengerang liar

badan tikar wajah tembikar

menikam cahaya menguliti pohon-pohon reklame

bugil mengigil

digenggam wajah-wajah perampok

 

o, lelaki malam bermimpi siang

diterawang lampion

dari segala tiang

 

Metro, 2004

 

Sketsa Bung Ilalang Meranggas

kali ini, kita bertemu

muara diding batu

sepasang bola mata senja

segulung angin telanjangi dedaunan kering

berai-berai ilalang perdalaman hutan itu

dipotret musim kemarau

 

"kau lihat itu" katamu

di atas pondasi pohon lapuk

butir-butir senja kuning dipanen sekelompok kelelawar

 

"akhirnya kau tenggelam juga" bisikmu

dan sekarang

tak bisa ditawar lagi lekung hitam kelam

terompah dahan lapuk menempuruk

roboh ditikam belati petualang liar

 

malam diam di atas sebilah bangku semu

senyuman masam remang cahaya bulan

di tengah-tengah pertikaian

para cukong memangkas, menguras kubikan kayu

 

dan setangkai mawar itu

tidak khusuk lagi ketika seketsa wajahmu

kujamah dengan pensil tajam arangku,

sebengis mata panah pemburu-pemburu liar

penggalan nama itu

dan ciulan lesung pipit di pipimu

terapung di tengah muara api

yang melahat hektaran hutan itu

aku pun mabok hamparan abu

digulung alun senyummu lalu sempoyongan mnegintip

kelopak matamu runtuh

ditebas sayap-sayap angin

dan sebatang rokok tertancap di bibir

adalah monumen kerempeng yang pernah aku panjat

sewaktu menikmati nyayian burung perenjak

di atas pelepah perdu dan sarang laba-laba

 

agar kebencian tak pernah nampak di matamu

kutuang lebah dalam seteguk senyumku

agar kemudian dapat memberimu sekeping madu

dan ramuan akar ilalang itu

tidak bisa aku tawar lagi

selain menggamit kunci fajar di ufuk rerimbun daun kering

 

 sekuntum bunga ilalang yang meranggas

di atas sebilah bangku semu

kukembalikan ke kelopak matamu

sambil kuselipi debu-debu nakal

di mana aku sering mancuri waktu, mengusik tafakur

memandang seketsa wajahmu

di sudut kolam

menunggu butir-butir senja menguning

dipanen sekawanan kelelawar

 

Metro,2003

 

Di Bibir Kota Matahari Jeda

selamat siang kotaku

sorot matamu mencibir di celah gigir

kau sempat sepi melipat garis matahari

saat kulintasi pintu terminal

kota ini

 

di setiap gang pijar matahari jeda

pendar hingga titik kulminasi

dalam syakwasangka yang akut

si manis mengeka sisa tulang ikan

dan bisikmu

sudahi siang

kota ini

Metro, 2005

 


Riwayat yang telah hilang

setiap kau dating, kau hanya membalut mendung di mataku

seperti ingin menyimpan kenangan yang telah kubunuh

di masa lalu, di ruang itu

bersenggama mencumbui fajar

hingga matahari lahir di atas ranjang

 

kau tak bersuara, isyarat-isyaratmu penuh tanya

mendedah gairah meracik pejam

dan batu-batu mengubur kelebat syahwat

menggigil kedinginan di pelataran

 

hari itu, seperti tak ada tanda-tanda kehidupan

tubuh-tubuh kita mencuat

seakan muara darah yang mengalir

dalam cabang-cabang anak sungai beku menggerutu

 

sebelum kau mendesis di balik pintu

memandang abau ruang tamu

mengepa jejak yang hilang di kegelapan

"silsilahmu berlompatan di udara

terbang meyusuri suara-suara orkestra"

 

secangkir kopi telah basi

sebuah meja lapuk digerus usia

memandang hujan di balik jendela

Metro, 2004

Musim kemarau

engkau berdiri di halaman rumahkku

menyaksikan kaki kayu mahoni lapuk

dikupas angin yang panas

 

dan layang-layang remang yang kemarau

merantau terbang

mencari kampung yang aman

 

di depan pintu rumahmu yang rawan

di sela percakapan

"musim ini sungguh menakutkan"

dirimu, datang berjubah hitam, panjang

juga wajah yang gerimis petang

 

Sehari sebelum ramadhan

di pintu taman bunga pojok udara

sehari sebelum ramadhan tiba

ramai pengunjungnya

 

dalam kejap bayang

senja tumbuh seperti pohon-pohon

penghias taman kamboja

 

abu-abu, birumuda, dan tua

 

gerimis sore menerjemahkan ranting-ranting patah

dahan-dahan demam menahan kesiur angin

yang membuncah butir hujan

dan kelopak-kelopak bunga

rindu pada harum tanah

yang mulai basah

 

langit remang semburat gersang

memantulkan garis-garis kerikil

di genang air keruh sisa hujan

 

sesengal isak mancari orang tuannya

 

Gunung Sugih, 2005

 

Episode malam

lancip gerimis menikam bulan yang berawan

saat orang-orang riuh di sepanjang jalan

mengeja abjad-abjad yang mambang di aspal

desis pertikaian ular-ular

di seberang kebun bertahan

 

kudekati malam yang sedang menyendiri

mengukir tiang langit yang tinggi

warna luka tak jelas pangkal ujungnya

 

kubiarkan malam pergi

mabuk

menyisir pucuk-pucuk ilalang

yang lengang

Metro, 2005

Bayang-bayang

semburat bulan menjerat

kabut menantang kilat yang remang

jasadku sempat kau

cakap akrab di beranda

bersetubuh dalam peluh

bila gelap menyekap

lolong srigala